Upacara Sumpah Pemuda di Kemenag Palu, Merawat "Jiwa" Indonesia di Tengah Keragaman
Ket: Detik-detik pengibaran Sang Saka Merah Putih menjadi momen sakral dalam upacara, mengingatkan semua peserta akan komitmen para pemuda 1925 untuk bersatu di bawah satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa.
Palu (Kemenag Sulteng) - Dalam sebuah upacara yang khidmat di halaman Kantor Kementerian Agama Kota Palu, Selasa (28/10/2025), segenap Aparatur Sipil Negara (ASN) berkumpul untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-97. Dipimpin langsung oleh Kepala Kantor (Kakankemenag), Ahmad Hasni, ritual kenegaraan tahunan ini tidak dilihat sebagai sekadar formalitas, melainkan sebagai strategi kebudayaan yang vital untuk memelihara ingatan kolektif tentang persatuan dalam keragaman—fondasi yang membuat Indonesia tetap utuh. Upacara ini menjadi pengingat akan "janji kelahiran" bangsa dan investasi sosial-budaya untuk masa depannya.
Di bawah tema "Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu", upacara tersebut mengingatkan semua pihak bahwa semangat yang digaungkan pada 1925 silam tetap relevan untuk dihidupkan dalam konteks kekinian. Ahmad Hasni, yang bertindak sebagai Pembina Upacara, membacakan amanat nasional dari Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, yang menegaskan peran strategis generasi muda sebagai lokomotif persatuan nasional.
Lebih dari sekadar urutan protokoler, setiap detil dalam upacara itu dimaknai sebagai simbol perenungan. Pengibaran bendera, pengucapan teks Sumpah Pemuda, dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan bukan sebagai rutinitas, tetapi sebagai afirmasi komitmen untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perspektif ini, upacara berfungsi sebagai mekanisme korektif agar bangsa tidak terjebak dalam euforia pembangunan fisik semata, namun melupakan pondasi ideologisnya.
Nilai strategis dari peringatan ini terletak pada kemampuannya untuk memperkuat kohesi sosial. Dalam dunia yang semakin terkotak-kotak oleh perbedaan pandangan, nilai-nilai Sumpah Pemuda menjadi penyeimbang yang mengingatkan bahwa keragaman suku, agama, dan ras adalah anugerah, bukan ancaman. Pemeliharaan ingatan kebangsaan ini menjadi prasyarat bagi berfungsinya instrumen negara lainnya.
“Sumpah Pemuda diperingati dengan upacara setiap tahun bukan sekadar formalitas atau rutinitas. Itu adalah strategi kebudayaan dan kenegaraan untuk memelihara "jiwa" Indonesia yang sesungguhnya, yaitu persatuan dalam keragaman. Tanpa upaya aktif untuk mengingat dan menghidupkan kembali semangat ini melalui ritual seperti upacara, fondasi negara ini bisa retak dan rapuh. Kita memperingatinya agar Indonesia tidak lupa pada "janji kelahirannya" sendiri.”
Dampak terbesar dari kegiatan semacam ini bersifat jangka panjang dan immaterial. Seperti yang tersirat dalam amanat yang dibacakan, peringatan Hari Sumpah Pemuda adalah sebuah investasi sosial-budaya. Nilai-nilai persatuan, kesatuan, dan cinta tanah air yang ditanamkan melalui ritual kolektif akan menjadi perekat yang membuat undang-undang, institusi, dan infrastruktur dapat berjalan secara optimal. Tanpa jiwa yang menyatukan, instrumen-instrumen negara tersebut hanya akan menjadi badan tanpa nyawa.

